page

Wednesday, March 30, 2011

Taqwa

 Tentunya kita sering mendengar kata takwa dari ustadz, dan para penceramah, namun ada dari kita, yang masih jauh dari takwa yang sebenarnya. Padahal takwa adalah kunci untuk meraih kebahagiaan dan keselamatan hidup didunia dan akhirat.

Imam An-Nawawi mendenifisikan takwa dengan “Menta’ati perintah dan laranganNya”. Maksudnya menja...ga diri dari kemurkaan dan adzab Allah Swt [Tahriru AlFazhil Tanbih, hal 322]. Hal itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Takwa yaitu menjaga diri dari siksa Allah dengan menta’atiNya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan atau meninggalkannya” (Kitabut Ta’rifat, hl.68, Yusuf Mansur Network, Takwa Solusi segala Masalah dan Bekal Terbaik).

Jadi takwa berarti mentaati Allah, taat terhadap semua yang diperintahkan dan dilarang. Seseorang melakukan perintah dan menjauhi laarangan-Nya karena keimanannya kepada Allah. Allah Swt berfirman: ”Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa” (QS. Al baqarah {2} : 41)

Takwa bermakna taat dan beribadah, sebagaimana tertulis dalam firmanNya : ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam” (QS. Ali Imran {3} : 102). Di antara wahyu Allah kepada Nabi Dawud As : “Tiada seorang hamba yang taat kepada-Ku melainkan Aku memberinya sebelum dia minta, dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya sebelum dia mohon pengampunan (istighfar).” (HR. Ad-Dailami). Itulah keutaman takwa, karena takwa bermakna taat dan beribadah.

Karena takwa bermakna taat dan beribadah, maka bagi hamba yang taat dan beribadah Allah Swt akan penuhi hati dan tangannya dengan kekayaan, sebagaimana tertulis dalam hadits yang diriwayatkan Imam Al-Hakim dari Ma’qal bin Yasar berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Tuhan kalian berkata, ‘Wahai anak Adam, beribadahlah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan.” (HR. Al Hakim). Nabi Muhammad Saw dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang yang beribadah sepenuhnya kepada-Nya, dengan kekayaan hati dan rezeki yang cukup, sebaliknya mengancam bagi yang tidak beribadah sepenuhnya kepada Allah, dengan kefakiran dan membuatnya kedua tangannya selalu dalam kesibukan.

Takwa adalah jalan meraih kemenangan, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan. (QS. An-Nur {24}: 52). Bila kita ingin mendapatkan kemenangan, maka bertakwalah kepada Allah.

Takwa juga merupakan bekal utama yang dapat memudahkan perjalanan hidup kita pada landasan kebenaran. Dan takwa kepada Allah adalah bekal yang harus kita persiapkan untuk akhirat kita kelak. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah Swt : ….Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al Baqarah {2} : 197)

Berikut beberapa ayat Al Quran tentang takwa kepada Allah :

1. ”Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS. Al Hadiid {57} : 28)
2. Allah Swt berfirman, ”…..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujuraat { 49} : 13)
3. ”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”. (QS. Al A’raaf {7} : 201)
4. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hasyr {59} : 18)
5. AllahSwt berfirman : “Barang siapa yang bertakwa pada Allah, Allah beri jalan keluar dari kesusahan dan akan beri rezeki dari arah yang tidak terduga-duga” (QS. Ath Thalaaq {65} : 2-3)
6. ”….Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. (QS. Ath Thalaaq {65} :4)
7. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raaf {7} : 96)
8. “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Mengenal” (QS Al Hujuraat {49} : 13)

Apabila kita menjadi hamba Allah yang bertakwa, Allah Swt telah menjanjikan kepada kita, bahwa memberikan kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat dan akan selalu memberikan jalan keluar dan mendatangkan rezeki untuk kita, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya disurah Ath Thalaaq ayat 2-3 diatas (lihat No 6)

Ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan takwa akan dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, “Allah akan mengadakan jalan keluar baginya.” Artinya, Allah akan menyelamatkannya di dunia maupun akhirat. Kedua, “Allah akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” Artinya, Allah akan memberi-nya rezeki dari arah yang tak pernah ia pikirkan. Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Makna ayat 3 surah At Thalaq diatas adalah, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar serta rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.” (buku Cukuplah Allah)

Mengadakan jalan keluar artinya menyelamatkannya dari setiap kesulitan di dunia dan akherat. Ibnu ‘Uyainah berkata itu artinya, ia mendapat keberkahan dalam rezekinya. Dan Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Barangsiapa berlepas dari kuatnya kesulitan dengan kembali kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dari beban yang ia pikul. “ (Jami Ahkamiil Qur’an, VIII: 6638-3369, secara ringkas)

Dan balasan bagi mereka di akhirat yang jelas adalah akan mewarisi tempat yang merupakan dambaan setiap insan yaitu Surga dengan segala kenikmatannya, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya:”Itulah syurga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa”.(QS. Maryam {19} : 63)
Karena itu, marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt agar kita bisa meraih kemudahan hidup dan diselamatkan dari setiap kesulitan kita, baik itu kesulitan hidup didunia maupun di akhirat kelak. Marilah kita raih kebahagian hidup didunia dan akhirat dengan jalan takwa kepada Allah Swt.

Tuesday, March 15, 2011

Tsunami: Teladan al-Quran Daripada Kisah Nuh ‘alayhi al-Salaam


dipetik dari: www.saifulislam.com


Pastinya bencana Tsunami mengingatkan kita kepada peristiwa taufan dan banjir besar di zaman Nabi Allah Nuh Alayhi as-Salaam. Dengan jumlah kematian yang begitu besar (mencecah lebih 120,000 orang), mungkin ia menyamai jumlah mereka yang ditenggelamkan oleh banjir di zaman Nuh Alayhi as-Salam. Ia adalah banjir yang meliputi keseluruhan muka bumi dan pengetahuan tentang pernahnya berlaku banjir besar itu, diiktiraf oleh semua tamadun manusia.
Sewajarnyalah kisah di zaman Nabi Nuh Alayhi as-Salaam itu dijadikan iktibar. Ini adalah kerana, Allah SWT mengekalkan ingatan umat manusia kepada peristiwa di zaman Nabi Nuh itu supaya ia terus menjadi peringatan, amaran dan pengajaran bagi sekalian umat manusia, mukmin dan kafir. Firman Allah SWT di dalam surah al-Haaqqah ayat 11-12:

“Sesungguhnya ketika air banjir itu melampau-lampau limpahannya, Kami telah damparkan kamu dengan selamat di dalam bahtera (Nabi Nuh) itu. Agar dengan itu Kami jadikan peristiwa tersebut sebagai teladan bagi kamu. Dan untuk didengar serta diambil ingat oleh telinga orang-orang yang mahu menerima pengajaran”

Apabila saya meneliti beberapa potongan ayat al-Quran tentang bencana di zaman Nabi Nuh Alayhi as-Salaam, saya mendapat kefahaman bahawa ia tidak jauh berbeza dengan bencana Tsunami 26 Disember lepas. Cuma mungkin berbeza dari segi skala kerana Tsunami yang Allah SWT datangkan kepada kita hanya menelan manusia yang menghuni daratan perairan Lautan Hindi, tidak segenap pelusuk bumi.

Renungilah ayat-ayat di dalam surah Hud ayat 40 – 41 berikut:

“Dan apabila datang hukum Kami untuk membinasakan mereka dan air memancut-mancut dari muka bumi (faara at-tannur), Kami berfirman kepada Nabi Nuh: Bawalah dalam bahtera itu dua dari tiap-tiap sejenis haiwan (jantan dan betina) dan bawalah ahlimu kecuali orang yang telah ditetapkan hukuman azab atasnya (disebabkan kekufurannya), juga bawalah orang-orang beriman dan tidak ada orang-orang yang beriman yang turut bersama-samanya, melainkan sedikit sahaja.
Dan (ketika itu) berkatalah Nabi Nuh (kepada pengikut-pengikutnya yang beriman): Naiklah kamu ke bahtera itu sambil berkata: Dengan nama Allah bergerak lajunya dan berhentinya. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. “

Kemunculan banjir besar di zaman Nuh itu bermula dengan limpahan air dari apa yang diistilahkan oleh al-Quran sebagai at-Tannur. At-Tannur ini pada makna asalnya adalah ketuhar atau oven yang digunakan untuk membakar roti. Ia dinamakan sedemikian rupa kerana di dalam ketuhar tersebut api marak membakar menyala-nyala di dalamnya.
Alangkah ganjilnya apabila kita cuba berfikir, bagaimana air keluar melimpah dari ketuhar yang di dalamnya api menyala-nyala!
Sheikh Solah Abdul Fattah al-Khalidi di dalam kitabnya Al-Qasas Al-Qurani: ‘Ard Waqaa’ie’ wa Tahlil Ahdaath [Darul Qalam 1419H / 1998M] menyatakan bahawa hikmah Allah SWT di dalam hal ini amatlah besar. Sesuatu yang diketahui umum, air berfungsi memadamkan api. Akan tetapi jika api itu menyala-nyala di tengah air, bagaimanakah ia boleh dipadamkan? Bagaimanakah api dan air boleh ‘mesra’ di dalam ketuhar yang membakar itu?
Sesungguhnya fenomena seperti ini menggambarkan betapa miskinnya qudrat manusia untuk memadamkan api yang menyala-nyala itu sebagaimana mereka juga tidak mampu mengekang air yang melimpah-limpah dari punca api tersebut. [mukasurat 191]
Saya melihat fenomena banjir dan ombak besar di zaman Nabi Nuh Alayhi as-Salaam dan hubungkaitnya dengan ‘ketuhar’ itu dari satu sudut lain yang mungkin boleh difikirkan bersama. Kita sama-sama mengetahui bahawa ombak Tsunami ini dicetuskan oleh gempa bumi yang berlaku di dasar Lautan Hindi berhampiran Sumatera. Gempa bumi ini berkait rapat dengan Lingkaran Api Pasifik. Batu batan dan api yang membara di perut bumi ini menjadikan kawasan terbabit tidak stabil sehingga mencetuskan gelinciran benua dan jenis-jenis gempa bumi yang lain. Dalam erti kata yang lain, seolah-oleh ombak besar Tsunami ini datang dari ketuhar Lingkaran Api Pasifik yang saya sebutkan sebentar tadi.
Bahkan ombak besar yang melanda bencana di zaman Nabi Allah Nuh Alayhi as-Salaam itu juga lebih hebat dari Tsunami tempoh hari. Ia digambarkan seperti gunung oleh Surah Hud ayat 42 – 43:

“Dan bahtera itupun bergerak laju membawa mereka dalam ombak yang seperti gunung-ganang dan (sebelum itu) Nabi Nuh memanggil anaknya, yang sedang berada di tempat yang terpisah daripadanya: Wahai anakku, naiklah bersama-sama kami dan janganlah engkau tinggal dengan orang-orang yang kafir.
Anaknya menjawab: Aku akan pergi berlindung ke sebuah gunung yang dapat menyelamatkan aku daripada ditenggelamkan oleh air. Nabi Nuh berkata: Hari ini tidak ada sesuatupun yang akan dapat melindungi dari azab Allah, kecuali orang yang dikasihani olehNya dan dengan serta-merta ombak itu pun memisahkan antara keduanya, lalu menjadilah dia (anak yang derhaka itu) dari orang-orang yang ditenggelamkan oleh taufan. “

MENGAMBIL IKTIBAR
Namun bagi kita hari ini, bagaimanakah sepatutnya kita mengambil pengiktibaran daripada bencana Tsunami tempoh hari? Apakah hanya dengan berfikir tentang usaha mengadakan sistem amaran awal semata-mata?
Kita bernasib baik kerana Tsunami itu tidak menelan semua sekali bahkan Malaysia mengalami keajaiban apabila angka kematiannya begitu kecil berbanding dengan negara jiran Acheh. Allah masih mengizinkan kita untuk bermuhasabah dan tidak membinasakan kita semua dengan suatu bencana yang tidak hanya menimpa golongan yang zalim semata-mata. Firman Allah SWT:

“Dan takutlah kamu kepada bencana yang tidak hanya menimpa golongan yang zalim semata-mata dari kalangan kamu secara khusus” (Al-Anfaal: 25)

Tsunami tidak menelan Pesta Pulau Pinang di Sungai Nibong. Tsunami tidak mengundang rebah Flat Pekeliling di Kuala Lumpur walaupun gegarannya cukup kuat untuk mendesak penghuninya lari bertempiaran. Tsunami ini belum seperti ‘Tsunami di zaman Nuh Alayhi as-Salaam’.
Pertamanya, terimalah hakikat bahawa bencana ini bukan ‘kejadian alam tanpa sebab’. Ia adalah amaran Allah. Ia adalah peringatan yang maha menakutkan. Tsunami menelan Acheh yang menyaksikan penindasan pemerintah yang membunuh jutaan penduduk yang mahukan Acheh berdiri bebas merdeka. Bukit bukau di Acheh menjadi gunung kubur manusia yang dibunuh kejam. Tsunami menelan Selatan Thailand yang baru sahaja bermandi darah Muslim Tak Bai, Masjid Kerisik dan sebagainya. Thailand itu juga menyajikan industri seks sebagai tarikan pelancong ke Phuket dan lain-lain. Tsunami membaham warga Pulau Pinang yang saban malam berpesta mungkar di Sungai Nibong. Tsunami juga memamah Pulau Pinang yang menjadi sarang pengedaran dadah, sarang pelacuran, sarang segala jenis kemungkaran dan sarang sampah!
Tsunami juga menelan Sri Langka dan India yang menjadi pentas tradisi menyembelih umat Islam. Tsunami juga menelan Maldives yang menjadi destinasi pelancongan pengunjung warga Barat sehinggakan nilai Islamnya langsung tenggelam tidak kelihatan. Sesungguhnya Tsunami menelan tanah air dan anak watan yang begitu peri lakunya. Amat pedih untuk menyebut hakikat ini, namun kita perlu akur.
Janganlah ‘terlalu saintifik’ sehingga tidak sudi memikirkan hakikat ini. Tiada kerosakan yang berlaku di muka bumi ini kecuali dengan asbab.
Firman Allah SWT di dalam surah Ar-Rum ayat 41:

“Telah timbul berbagai kerosakan dan bala bencana di darat dan di laut dengan sebab apa yang telah dilakukan oleh tangan manusia; (timbulnya yang demikian) kerana Allah hendak merasakan mereka sebahagian dari balasan perbuatan-perbuatan buruk yang mereka telah lakukan, supaya mereka kembali (insaf dan bertaubat)”

Seterusnya, ingatlah kembali kepada apa yang telah saya sebutkan di awal tadi, bahawa Allah SWT mengekalkan kisah ini di dalam ingatan sekalian manusia, agar kita semua mengambil peringatan.
Qatadah telah menyebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari [Sahih al-Bukhari nombor 4869], “Allah SWT telah mengekalkan kapal Nuh supaya ia sampai kepada pengetahuan generasi awal umat ini”.

WASIAT NUH ALAYHI AL-SALAAM


Sebagai penutup, renungilah wasiat Nabi Nuh Alayhi as-Salaam kepada anak-anaknya yang beriman sebelum Baginda wafat pulang kepada Allah.
Imam Ahmad dan al-Bayhaqi telah meriwayatkan daripada Abdullah bin ‘Amr bin al-’Aas Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Suatu ketika kami sedang bersama-sama dengan Rasulullah SAW. Kemudian datang seorang lelaki dari pedalaman yang memakai jubah besar berwarna hijau (Seehan) dan dihiasi dengan sutera. Lalu Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya sahabat kamu ini telah meninggalkan setiap pahlawan berkuda anak pahlawan berkuda serta mengangkat setiap pengembala anak pengembala! (Pakaian yang melambangkan keangkuhan pemakainya)” Lalu Baginda SAW memegang jubah lelaki tersebut dan berkata kepadanya “Aku melihat engkau memakai pakaian orang yang tidak berakal!” Kemudian Rasulullah SAW berkata lagi “Sesungguhnya Nabi Allah Nuh Alayhi as-Salaam ketika nazak menghadapi kematian, beliau berkata kepada anaknya:
“Sesungguhnya aku mahu meninggalkan wasiat kepada kamu. Aku perintahkan kepada kamu dua perkara dan aku tegah kamu daripada dua perkara. Aku perintahkan kamu dengan Laa Ilaaha IllaLlaah. Sesungguhnya jika tujuh petala langit dan bumi diletakkan di suatu timbangan dan Laa Ilaaha IllaLlaah diletakkan di suatu timbangan yang lain, nescaya Laa Ilaaha IllaLlaah itu lebih berat. Seandainya tujuh petala langit dan bumi itu suatu rangkaian yang samar dan rapuh, ia terjalin kukuh dan kemas dengan Laa Ilaaha IllaLlaah.
Aku juga memerintahkan kamu dengan Tasbih dan Takbir. Sesungguhnya dengan demikian terhasil kesejahteraan setiap sesuatu dan dengannya jua makhluk dikurniakan rezeki.
Aku tegah kamu dari Syirik dan Kibr (takabbur)”
Sahabat bertanya, Ya Rasulallah, sesungguhnya Syirik itu telah kami arif mengenainya. Namun, apakah yang dimaksudkan dengan Kibr? Adakah menjadi Kibr jika seseorang itu memakai sepasang kasut yang baik dengan talinya yang baik?
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak”
Kata Sahabat berkenaan, atau apakah dengan seseorang itu mempunyai perhiasan dan beliau memakainya (lalu dianggap Kibr)?
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak”
Kata Sahabat berkenaan lagi, atau apakah seseorang itu mempunyai haiwan tunggangan dan beliau menunggangnya (lalu dianggap Kibr)?
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak”
Kata Sahabat tersebut, atau adakah jika sesiapa di kalangan kami mempunyai ramai teman dan beliau duduk bersama mereka (lalu dianggap Kibr)?
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak”
Lalu Sahabat tersebut bertanya, kalaulah begitu ya Rasulallah, maka apakah sebenarnya Kibr itu?
Nabi SAW menjawab, “Al-Kibr itu ialah meremeh-temehkan kebenaran (safah al-haq) dan menindas manusia (ghamth an-Naas)!”
[Dikeluarkan oleh Ahmad di dalam al-Musnad 2: 169, 170, 225. Dan oleh al-Bayhaqi di dalam al-Asmaa' wa as-Sifaat: 79]

Inilah pesanan Nabi Allah Nuh Alayhi as-Salaam kepada anaknya sebelum wafat. Dan kita ini semua adalah cucu cicitnya Baginda. Terimalah nasihat ini sebagai peringatan.
Sesungguhnya Tauhid dan Kalimah Tauhid adalah sebesar-besar perkara di dalam hidup ini. Menjadikan ia sebagai fokus diri, dan seterusnya disempurnakan pula dengan Takbir membesarkan Allah dan Tasbih mensucikanNya pada lisan dan perbuatan. Syirik yang muncul dengan pelbagai versi di dalam kehidupan kita hari ini bersama perbuatan angkuh, bongkak, takabbur atau Kibr itu pula hendaklah dijauhi. Sesungguhnya Syirik dan takabbur itu telah menjadi syiar dan cara hidup ramai manusia pada hari ini.
Manusia angkuh dengan Allah, orang ramai bongkak dengan hukum hakamNya, malah masih berani berpesta di Sungai Nibong walaupun bencana Tsunami hanya beberapa kilometer jaraknya. Selepas teguran dibuat oleh Mufti dan orang ramai, TV3 masih tidak segan silu meneruskan silsilah Konsert Sure Heboh yang hanya mengukuhkan lagi hedonisma sebagai rukun kehidupan masyarakat sekarang. Tidakkah sikap begini bermaksud memperlekehkan kebenaran? Bukankah sikap ini yang terpilih menjadi amaran Nabi Allah Nuh yang menyaksikan umatnya ditenggelamkan ‘Tsunami’?
Apabila masyarakat kita diperingatkan oleh alim Ulama dengan kebenaran, ramai yang gembira mempersendakan kebenaran tersebut. Ramai yang memperlekehkan ayat-ayat Allah tanpa segan silu. Bahkan dengan sifat jelek seperti itu, tidak hairan jika ramai pula yang zalim, menindas sesama manusia sama ada dengan kuasa, akta, mahu pun sikap dan tanduk di peringkat individu.
Apakah kita mahu menunggu sehingga bumi Malaysia tersenak hidung dengan gelimpangan mayat seperti di Acheh, baru mahu tersentak dari kelekaan semua dan selama ini? Setiap kali menonton siaran berita di televisyen, saya tidak dapat menahan sebak di dada. Tetapi apabila mengenangkan kebiadapan manusia hari ini, mungkin Tsunami sahaja yang mampu memecahkan tempurung kepala kita hari untuk faham dan menginsafi kuasa Allah SWT. Ceramah tak makan, motivasi tak jalan, nasihat tak dilayan, teguran dipinggirkan, yang menang akhirnya tetap hiburan dan keseronokan. Tidakkah kita sebenarnya sudah terlalu jauh pergi meninggalkan sifat diri sebagai hamba Tuhan?
Tepuk dada tanyalah iman…
Salam takziah dari saya untuk tamadun manusia.

” Apakah penduduk negeri itu merasakan aman dari bala Allah pada waktu malam ketika mereka sedang tidur. Apakah penduduk negeri itu merasa aman dari bala Allah pada waktu pagi sedang mereka bermain atau bekerja. Apakah mereka merasa aman dari azab Allah(jadi mereka boleh hidup berseronok hingga melanggar hukum Allah). Tidaklah yang merasa aman dari azab Allah melainkan orang yang rugi.” (Al-A’raaf 98-99)